Halaman

Tuesday, August 14, 2007

Jakarta-Sengata (part two)

Mati Lampu

Sudah hampir dua bulan ini Sangatta benar-benar menjadi seperti asal-usul namanya: Sangat Menderita. Kami harus merasakan satu hari mati lampu selama sekitar 6 jam di pagi hari, dan kemudian keesokan harinya mati lampu sekitar 5 jam di malam hari. Kalau lagi ‘tega’, kami semua dikagetkan dengan mati lampu selama 12 jam. Mungkin sudah beberapa kali terjadi. Biasanya jam-jam mati lampu bergiliran bisa ditebak. Kalau giliran pagi, pasti mulai pukul 8 hingga sekitar pukul 4 atau 5 sore. Kalau giliran malam, bila pukul 5 sore atau menjelang maghrib mati lampu, maka siap-siap bergelap ria hingga pukul 10 malam. Awalnya memang terasa menyebalkan, tapi lama-lama sepertinya terbiasa juga. Tapi, beberapa waktu belakangan, mati lampu tak bisa ditebak. Kadang jam 6 pagi, atau jam 11 siang, bahkan kemarin malam mati lampu hanya berlangsung 2 jam, dan kembali terang pukul 8 malam. Dan menjelang saat tidur, sekitar pukul 10, tiba-tiba semua gelap lagi. Ya sudah pasrah saja lah. Sempat ada kabar bahwa seluruh Sangatta akan ‘dimatikan’ selama seharian penuh, dalam rangka perbaikan listrik seluruh Sangatta. Kami sempat berharap-harap cemas, terserah lah mau dimatikan berapa jam asal setelahnya tidak terjadi lagi mati lampu bergantian seperti dua bulan ini. Ternyata???? Mati lampu se-Sangatta tidak jadi, dan hingga sekarang kami masih cukup hafal dengan jadwal mati lampu ‘siang-malam’.

Mati Air

Penderitaan yang satu ini memang nggak dirasakan oleh penghuni komplek perumahan KPC di Swarga Bara alias Sangatta Baru. Tapi rasanya saya perlu tulis, karena ini menyangkut penderitaan banyak sekali teman-teman saya yang memang tinggal di daerah Sangatta Lama, Teluk Lingga dan sekitarnya. Sudah sekitar dua minggu terakhir mereka sama sekali tidak mendapatkan aliran air dari PAM. Bayangkan saja, biasanya mereka harus berebut menampung air yang hanya ‘lewat’ satu atau dua kali seminggu, biasanya keluar di malam hari, sehingga mereka harus bergadang hingga pukul dua dini hari untuk menunggui tampungan air. Kemudian hari-hari berikut mereka harus mengirit pemakaian air, terbatas hanya untuk mencuci baju dan mandi saja. Saya membayangkan kalau hidup seperti itu, apa jadinya nasib saya yang selalu kepanasan di siang hari hingga bisa mandi berkali-kali untuk menghilangkan gerah. Nah, sekarang ini, dua minggu berturut-turut mereka sama sekali tidak mendapatkan pasokan air, hingga banyak di antara mereka yang harus menampung air hujan untuk mandi dan mencuci. Dan akibatnya? Seorang bapak, namanya pak Gatot (saya sih nggak kenal), masuk rumah sakit karena terkena demam berdarah akibat dari sekali waktu itu mandi pakai air tampungan hujan. Mungkin terkena jentik-jentik yang berkembang di tempat tampungan tersebut. Akhirnya banyak orang yang menampung hujan waspada dengan meneteskan obat pada air tampungan tersebut.

Uang Belanja Bengkak

Dulu, saya pikir hidup di Jakarta bisa menghabiskan uang karena semua barang mahal. Saya pikir hidup di daerah (apalagi daerah kecil) pasti lebih enak, karena lebih banyak uang yang bisa ditabung. Ternyata????

Pertama kali ‘menyentuh’ pasar Town Hall, saya sempat terpelongo lama sekali di stan sayuran, daging, ayam, dll. Harga-harga bisa dua kali lipat lebih mahal dari pengeluaran belanja saya di Bintaro dulu. Bahkan ada beberapa penjual yang tidak bersedia melakukan tawar-menawar. Walaupun pembeli dibolehkan untuk menyebutkan harga sekian untuk membeli dagangan mereka. Tapi menyebutkan ‘seribu rupiah’ untuk membeli cabe merah sama saja dengan mendapatkan cabe merah sekitar hampir sepuluh biji. Kadang-kadang, hanya membeli beberapa jenis sayuran beserta bumbu-bumbu saja bisa menghabiskan uang dua puluh ribu rupiah lebih. Jadi, semangat saya untuk menawar dan mendapatkan harga murah di pasar Town Hall menurun drastis. Akhirnya saya lebih sering mencomot barang-barang yang saya perlukan, dan menyerahkan pada si penjual untuk dihitung, lalu pasrah saja menyerahkan uangnya. Walau saya sering mendapat ‘korting’ lima ratus rupiah, karena si penjual sudah kenal dan baik sekali pada saya. Tapi lima ratus rupiah itu sama saja dengan sebutir jeruk nipis. Haha. Bahkan saya sempat ragu untuk membeli buah-buahan. Disamping karena harganya memang relatif mahal (apel sekilo sekitar dua puluh tiga ribu rupiah), dan hanya sedikit jenis buah yang ada di pasar Town Hall. Tapi semenjak saya tidak tahan lagi untuk makan buah, jadilah buah pepaya ditabur jeruk nipis jadi cemilan favorit saya. Selain karena harganya lebih murah dari jenis buah lainnya, saya juga butuh si pepaya untuk mencegah sembelit akibat si bayi kecil di perut.

Belakangan, setelah punggung saya sudah semakin sering pegal-pegal dan kaki berat dipakai jalan, saya sering menitip belanja pada mbak Siti (menantu ibu kontrakan). Beliau sering berbelanja ke pasar Teluk Lingga (di Sangatta Lama) atau ke warung komplek G-House (perumahan di sebelah Lembah Hijau) dengan sepeda motor. Dan sepertinya saya akan sering menitip-nitip begitu, sebab harga akan berbeda cukup jauh. Sekitar dua ribu hingga tiga ribu rupiah untuk daging dan sejenisnya, atau seribu rupiah untuk sayuran. Yah, mungkin para pedagang di pasar Town Hall menganggap penduduk perumahan KPC cukup ‘kaya raya’ untuk dihabiskan uangnya.


Kota Berdebu

Pertama kali sampai di Sangatta, saya mengirimkan sms kepada seorang teman FLP Sangatta. Beliau membalas dengan kalimat “Selamat datang di kota berdebu”. Wah, pada waktu itu, karena saya berada dalam mobil dan masih memandangi hijaunya lingkungan Tanjung Bara, saya tidak berpikir sampai ke sana. Malah saya memuji-muji Sangatta dan mengatakan bahwa pemandangannya indah. Ternyata????

Saya baru menyadari bahwa Sangatta benar-benar ‘kota berdebu’ ketika mendapati lantai penuh pasir dan debu padahal setiap pagi dan sore selalu disapu dan dipel. Misalnya pagi harinya dipel, sekitar jam 10 pagi sudah mulai terasa ‘pasir-pasir’ di kaki. Juga perabotan lain, terutama meja makan yang terletak di dekat pintu samping dapur. Setiap kali membersihkan meja, saya selalu mengelapnya hingga ke sudut-sudut, tapi beberapa jam kemudian ketika saya ‘iseng’ mengelapkan selembar tissue, hasilnya ‘hitam legam’. Ada yang bilang debu-debu tersebut berasal dari tambang batu bara, ada juga yang dengan santainya bilang, “Ah, emang di sini aja yang ‘debuan’”. Hal ini dikeluhkan cukup banyak orang. Tapi pada akhirnya mungkin tiap orang memutuskan untuk menerima saja debu-debu yang berterbangan dengan tidak terlalu rajin dan ngotot menyapu tiap kali debu tersebut mampir.

Pentol, Payau, dan Kates

Adakah yang merasa asing dengan tiga buah kata tersebut? Yang jelas, saya sendiri baru menemukannya di Sangatta. Mungkin bahasa Indonesia yang saya gunakan terlalu sedikit kosa katanya, hingga saya terbengong-bengong saat semua orang di Sangatta (baik yang pendatang maupun asli) begitu fasih mengucapkannya.

“Pentolnya berapa nih, mbak?” suatu hari di pasar Town Hall, saya mendengar seorang ibu yang bertanya pada si penjual. Saya langsung melirik ke arah ‘benda’ yang ia sebut ‘pentol’ itu. Ternyata sebungkus bakso kecil-kecil yang biasa didapat di tukang sayur manapun. Apanya yang pentol? Begitu pikir saya. Tapi ternyata ibu kontrakan, mbak-mbak yang kost di rumah, dan semua orang dengan lancarnya menggunakan kata ‘pentol’ untuk menyebutkannya. Apakah kata ‘bakso’ di sini memang disebut dengan ‘pentol’? Atau mungkin ‘pentol’ itu bahasa kalimantan ya? Begitu yang ada di benak saya. Tapi sampai sekarang, walaupun saya sudah tahu bahwa sebutan untuk tiap benda yang dibentuk bulat-bulat seperti bakso dinamakan ‘pentol’, saya tetap ‘enggan’ menyebutkannya. Bakso ya bakso. Somay ya somay. Bakso yang kecil-kecil ya sebut saja bakso kecil, bakso urat, dan sebagainya. Bentuk seperti itu ya sebut saja ‘bulat’. Tapi saya selalu dikoreksi suami saya, yang dengan geli selalu bilang, “Bakso itu artinya pentol-pentolnya lengkap dengan mie, kuah, pangsit, dan semua isinya. Kalau pentol itu ya daging-daging yang bulet itu.” Dan saya tetap bilang, “Bakso.”

Cerita soal ‘payau’ lain lagi. Jangan bayangkan sebuah kalimat yang berbunyi “ikan itu berenang di air payau”. Karena maksud sebenarnya tidak nyambung ke arah sana sama sekali. Suatu hari, saya sedang mengobrol lewat pintu samping dengan menantu perempuan si ibu kontrakan. Mbak Siti, namanya. Mbak Siti bertanya,”Mbak suka makan payau, kah?” (soal dialek orang sini, itu lain cerita lagi) dan saya terbengong sedikit untuk mencerna maksudnya. “Maksudnya makan ikan payau gitu? Ikan apa?” sahut saya sok tahu. “Bukan, Mbak, tapi daging payau.” Baru saya mengerti bahwa ada istilah ajaib lagi yang saya tidak tahu. Akhirnya saya bertanya dengan nada heran, “Payau itu binatang apa?” (saya membayangkan jenis binatang yang belum ada di dunia tapi kemudian memutuskan untuk mendengarkan saja penjelasan mbak Siti) “Payau itu apa ya … sejenis rusa gitu, na!” (ini salah satu bagian dari dialek menarik orang sini) dan saya pun berkata dengan tenangnya, “Oh, rusa … bilang aja rusa gitu, mbak. Yang ada tanduknya itu kan?” mbak Siti belum puas, “Iya, tapi beda mbak. Yang ini lebih besar gitu, na. Bukan rusa, tapi payau. Dagingnya empuk dan rasanya enak. Murah kalau di sini, karena gampang nangkapnya.” Binatang sejenis rusa tapi bukan rusa? Nenek moyangnya kah? Binatang khas kalimantan? Saya belum pernah dengar. Saya putuskan saja untuk memvisualisasikan ‘payau’ dengan rusa. Akhirnya saya menyimpulkan, “Oh, bilang aja rusa. Nggak, nggak suka ah. Aneh. Kasian kan mereka yang dipajang-pajang di kebon raya bogor itu dimakanin orang.” Jawab saya sekenanya. Mbak Siti tertawa geli, demikian juga suami saya ketika malamnya saya ceritakan. Malah ia dengan antusiasnya bilang, “Enak lagi, dek, sate payau.” Dan saya pun dengan tegasnya bilang, “Jangan suruh aku masak payau, ya. Kasian. Masak bamby dimakan.” Saya menyebutkan sebuah nama tokoh kartun yang dipresentasikan dengan rusa betina muda. Suami saya tertawa geli lagi. Dalam hati saya: kok ya orang-orang ini suka sekali makan sesuatu yang tidak lazim ya? Sudah ada sapi, ayam, kambing yang bertebaran, masih juga makan rusa.

Soal kates, suami saya duluan yang memancing pengetahuan saya. “Kalo ‘kates’ tahu nggak?” tanyanya. Saya langsung saja menggeleng. Ternyata ‘kates’ itu artinya pepaya. Baik orang jawa yang tinggal di sini maupun penjual ‘kates’ yang penduduk asli dengan lantangnya berteriak: “Kateeees … katesnya buuuu …”. Dan saya tetap bilang, “Bu, beli pepaya matang yang itu.”

Sangatta atau Sengata?

Suatu hari ketika membaca koran Kaltim Post, saya dan suami terheran-heran. Seperti biasanya, di lembar-lembar tertentu, Kaltim Post memuat berita lokal yang meliput kegiatan sosial masyarakat di tiap kecamatan setempat. Seperti misalnya ada penyuluhan anu di Bontang, Tenggarong, dsb termasuk Sangatta. Nah, ini dia. Kami berdua saling bertanya, “Loh, kok tulisannya ‘sengata’ ya? Emang itu daerah mana lagi? Apa maksudnya ‘sangatta’?” tanya suami saya. Saya pun keheranan, “Apa mungkin salah tulis ya, mas?” Tapi kemudian, kami perhatikan setiap kolom berita tersebut dan keterangan tempatnya tetap tertulis ‘Sengata’. Jadi, tidak mungkin salah ketik rasanya.

Beberapa hari kemudian, suami saya bilang, “Dek, ternyata tulisan ‘sengata’ itu nggak salah. Dan emang namanya diganti jadi itu.”

Rupanya pemerintah daerah memutuskan untuk mengganti nama kecamatan Sangatta, menjadi Sengata. Alasannya adalah nama ‘Sangatta’ sudah sangat identik disebutkan orang-orang sebagai kependekan dari kata ‘Sangat Menderita’, yang ternyata memang merupakan asal nama kota kecil ini. Disebut seperti itu karena memang bertahun-tahun lalu (sekitar 12 tahun lalu), ketika kota ini belum berkembang seperti sekarang, masyarakat pendatang terutama merasakan betapa menderitanya hidup di Sengata. Oleh karena sulitnya mendapatkan air bersih (di Sengata Lama dan daerah Teluk Lingga pun sampai sekarang air bersih hanya datang 2 kali seminggu), listrik, minim fasilitas, serta kondisi lingkungan yang masih terlihat ‘hutan sekali’. Lama kelamaan, setelah PT Kaltim Prima Coal ‘bekerja sama’ dengan pemerintah membangun Sengata, penduduk mulai merasakan kemajuan, walau dengan segala kekurangan yang masih ada, kata ‘Sangatta’ tetap diidentikkan dengan penderitaan itu tadi.

Oleh sebab itulah nama salah satu kecamatan di kabupaten Kutai Timur ini diganti menjadi ‘Sengata’, yang juga merupakan kependekan dari sebuah istilah lain. Sengata diambil dari dua kata: ‘Seng’ dan ‘Ata’. ‘Seng’ itu artinya sungai, dan ‘Ata’ berarti kucing kecebur. Jadi, apakah Sangatta menjadi Sengata membawa sebuah perubahan arti yang besar? Sepertinya tidak, ya. Sama-sama menggambarkan penderitaan. Haha. Dasar aneh.

ps. Tulisan ini ditulis berbulan-bulan yang lalu, saking lamanya jadi lupa. Sekarang, Sengata nggak se-menderita tulisan di atas. Haha.

8 comments:

Anonymous said...

Siapa yg berani menghina Sangatta…
LAnagkahi dulu mayatku….

halimah taslima said...

ceritanya bagus "bujur" nih. he..he..

No Sykret said...

hadoh.... anda bisanya melihat kota sengata hanya dari sisi negativenya aja seah...... kalo bener sebobrok itu.... kanap juga anda atau suami anda pindah kesangata,...? g ada job di Jakarta ya..... ahhh... atau kurang bersaing ma orang-orang jakarta..... ya begitulah orang-orang yang termarginalkan oleh kota besar.... datang ke kota orang hanya bisa menyumpah serapa.... bodoh.... padahal anda juga cari makan di kota SENGATA TERCINTA ini.....

seyla said...

harus sabar, dan jeli melihat keindahan yg tersembunyi, sister..
nikmati saja, dan berusaha untuk kreatif agar bisa hemat hidup di rantau. sengata saat ini menjadi daerah pertambangan yg tengah berkembang. sempat dibahas di coalcoalcoal.com

Sangatta said...

Sya ABdurrahim SYa ORANG SengaTA ..,
DAn Sya Pnulis Dlam Suatu web tentang sengata..,
Kunjungi lintassengata.co.cc.......,

Erwindo 666 said...

Maantaap Artikelx mba? tp yaa jng jg mlihat sisi negatifx dr Kota ini,, bgini2 sumber devisa bwt negara loh... mn bsa bngunan megah brdiri d jkt qlo g ad APBN dr daerah sperti sangatta ini...!!! sangatta ini kota korban dr bobrokx kpemerintahan kita.

Unknown said...

msh betah lo numpang cari makan di sangatta...??? atau udh balik ke kota kebangganmu...dmna bumi dipijak disitulah langit dijunjung...apapun keadaan bumi tempatmu berpijak syukuri lah krn disitulah tempat kalian mengais rejeki,,kalaupun anda merasa menderita hidup di sangatta silahkan angkat kaki dri kota ini...kami tak butuh para pendatang yg tahu nya cmn bisa menghina

Unknown said...

msh betah lo numpang cari makan di sangatta...??? atau udh balik ke kota kebangganmu...dmna bumi dipijak disitulah langit dijunjung...apapun keadaan bumi tempatmu berpijak syukuri lah krn disitulah tempat kalian mengais rejeki,,kalaupun anda merasa menderita hidup di sangatta silahkan angkat kaki dri kota ini...kami tak butuh para pendatang yg tahu nya cmn bisa menghina