Halaman

Tuesday, August 14, 2007

Pertemuan-pertemuan Cahaya

Pertama kali saya bertemu muka dengannya adalah saat saya mengikuti sebuah acara pelatihan khusus muslimah yang diadakan saat bulan Ramadhan. Saat itu juga adalah pertama kalinya saya menghadiri sebuah acara dimana tidak seorang pun yang saya kenal, sebab saat itu merupakan kali kedua ‘pemunculan’ diri saya di muka umum. Hari ke sekian di tempat baru, Sengata. Waktu itu, ia menjadi seorang pembawa acara di pelatihan tersebut, dan saya langsung saja menyukai dirinya yang sepertinya tak lepas dari senyum lebar sambil dengan lantang membawakan acara. Entah kenapa, saya biasanya bisa langsung tertarik pada seseorang pada perjumpaan pertama dari berbagai kesan yang saya tangkap. Kali itu, perhatian saya tertuju pada postur tubuhnya yang terlihat ‘tak biasa’. Setelah saya perhatikan, rupanya ia tengah hamil cukup besar. Saya agak kaget juga, sebab nyaris tak tampak dari gerak-geriknya yang luwes, lincah, namun tetap terlihat tenang. Dalam hati saya terbetik sebuah pikiran, “Apa tidak ada orang lain yang bisa menggantikan, kok hamil besar begitu disuruh jadi panitia acara.”

Kali berikutnya pertemuan saya dengannya, adalah ketika saya bergabung dalam sebuah kelompok pengajian, yang ternyata ia juga turut di dalamnya. Hati saya bersorak, sebab saya begitu penasaran ingin mengenalnya lebih dekat. Walaupun pada acara pelatihan tersebut kami sudah berkenalan, dan ternyata ia juga seorang pengurus Forum Lingkar Pena.

Ketiga kalinya saya bertemu dengannya adalah ketika kami menghadiri sebuah acara tabligh di sebuah masjid besar yang biasa mengkoordinir acara-acara saat bulan Ramadhan tiba, atau di hari-hari lainnya. Di tempat itu kami sempat berbincang cukup lama, dan saya berkenalan dengan seorang lagi anggota FLP. Kami bertiga bertukar cerita tentang pengalaman di FLP dan sampailah pada pembicaraan mengenai kehamilan dan aktivitas keseharian. Kemudian wanita yang saya kagumi itu berkata,

“Dulu ketika Nida –anak pertama saya- masih beberapa bulan, saya berangkat ke Bontang bersama rombongan FLP Sengata. Panitia dan peserta di sana sampai heboh karena saya membawa-bawa bayi begitu. Tapi saya pikir, acara seperti itu jarang sekali ada, dan saya nggak mau melewatkan. Nah, kalau lagi hamil begini, enaknya bisa ke mana-mana, karena bayinya masih di dalam perut. Kalau sudah keluar, jadi agak repot. Paling tidak istirahat selama satu bulan lah, baru setelah itu bisa dibawa-bawa lagi.”

Ia mengatakan hal itu menanggapi sikap seorang temannya yang, menurut cerita, sempat ragu dan takut untuk terus beraktivitas selama hamil dan apalagi setelah punya anak. Saya yang mendengar langsung merasa malu. Sebab saya sama sekali belum terpikir untuk tetap aktif seperti itu kala hamil atau nanti setelah punya anak. Tak sadar saya memegang perut, dan membatin, “Kuatkah saya seperti dia?”

Ia melanjutkan bicaranya,
“Karena di Sengata sumber daya manusianya sedikit sekali, jadi setiap ada kesempatan dakwah, ada amanah apapun, kita harus siap. Kondisi seperti itu bikin kita jadi kuat. Kalau yang masih single atau belum punya anak bisa ke mana-mana, itu sih sudah biasa. Tapi kalau yang lagi hamil atau sudah punya anak berapa tapi tetap aktif, itu baru luar biasa.”

Saya tersenyum. Kalimat yang terakhir diucapkannya pernah saya dengar dari guru ngaji saya semasa saya tinggal di Jakarta dulu. Wanita itu mengucapkannya tanpa maksud menggurui, bahkan saya merasa ia seperti sedang menceritakan sesuatu yang seru saja. Sebab raut wajahnya yang begitu bersemangat, tak lupa senyum lebarnya, dan intonasi suara yang sangat persuasif. Diam-diam rupanya hati saya memupuk sesuatu dari kesan yang saya dapatkan darinya.

Memang, seringkali kondisi yang serba ada, atau kemudahan yang mengelilingi kita, akan membuat diri menjadi manja. Malah mungkin kita jadi terbiasa untuk mencetuskan berbagai kalimat ‘permakluman’ atau ‘permaafan’ untuk tidak mengikuti acara ini-itu, menolak tugas anu, dan sebagainya, dengan alasan yang bisa jadi kita buat-buat sendiri, padahal masih bisa diusahakan. Kalau mau mengikuti nafsu, mungkin saya akan memilih mendekam saja di rumah, tidak berpartisipasi dalam setiap aktivitas yang ada, supaya tidak ditugaskan macam-macam. Tetapi akhirnya saya teringat kehidupan yang saya jalani beberapa bulan tinggal di Bintaro, atau ketika menunggu waktu menyusul suami dan saya sementara tinggal di rumah orang tua di Bekasi. Kota besar macam Jakarta mungkin sudah berkelimpahan orang, sehingga potensi yang ada pada segelintir orang tidak termanfaatkan, dan akhirnya segelintir orang itu menjadi ‘pisau-pisau tumpul’ akibat tak sering dipakai. Saya pernah merasakannya, dan sungguh tidak enak.

Kondisi yang melemahkan itu bahkan hampir terbawa hingga kepindahan saya ke Sengata. Kota kecil yang, seperti banyak dibilang orang, kalau ada acara pasti bertemu dengan ‘dia lagi-dia lagi’. Tak ada kata ‘menganggur’, dan siap-siap diberdayakan. Saya teringat perjumpaan pertama saya dengan wanita itu, dan langsung membandingkan. Bila di Jakarta, kondisi hamil atau yang sejenisnya mungkin akan menjadi excuse yang bisa selalu digunakan, dan semua orang maklum. Dan saya memang sering menemukan kondisi macam itu pada teman-teman saya dulu. Tapi di Sengata? Jangan ditanya.

Bulan Januari lalu, usia kehamilan saya memasuki bulan ke delapan. Dan dalam sebuah organisasi yang baru saya ikuti, saya dipilih untuk menjadi ketua pelaksana acara launching organisasi tersebut. Saya menyanggupi. Berkali-kali rapat persiapan sampai mendatangi nara sumber, saya jalani dengan perut besar saya. Anehnya, seringkali di tiap kesibukan itu saya hampir-hampir lupa akan kehamilan saya sendiri. Saya merasakan semangat yang mengembalikan kerinduan saya akan aktivitas ketika dulu di kampus dan di tempat lain. Saya merasa begitu bersemangat lagi, dan setiap pulang ke rumah, walau dengan membawa lelah, berbagai cerita seru mengalir dari mulut saya menjadi pembicaraan menarik bersama suami.

Sungguh beruntung seseorang yang apabila saudaranya melihat wajahnya, langsung akan mengingatkannya kepada Allah. Seseorang yang bila kita mengingatnya, maka diri kita akan tertegur dari kelalaian dan kembali bersemangat untuk memperbarui iman dan meningkatkan ibadah. Seseorang yang bila kita mengingatnya, maka yang terlintas di pikiran adalah kebaikan-kebaikannya. Bayangkan, bila kita berada di sekeliling orang-orang yang seperti itu. Dan memang diri kita membutuhkan orang-orang yang bisa senantiasa mengingatkan diri kita apabila rasa malas dan lalai menyerang.

Dan hingga sekarang, saya berusaha terus memperbanyak amal ibadah sebagai bentuk rasa syukur saya, karena Allah telah menghadirkan wanita itu, sahabat baru saya, dalam kehidupan baru saya di tempat yang baru ini. Dan menjadikan setiap kali pertemuan saya dengannya menjadi pertemuan yang membuahkan cahaya dalam hati saya. Walaupun akhirnya ia sekeluarga pindah ke kota lain, sampai sekarang, ketika malas mulai menyerang, saya tak pernah lupa kata-katanya saat ia memberikan pesan-kesan di acara perpisahannya:

“Terus semangat, jaga kesehatan, dan jangan malas. Allah lebih menyukai seorang muslim yang kuat daripada yang lemah.”

No comments: