Halaman

Wednesday, August 26, 2009

Biar Anak Belajar Mandiri

Suatu pagi, saya kembali menemani Firna sekolah di salah satu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di daerah Lembah Hijau, Sengata. Seperti biasa, saya langsung bergabung dengan para bunda yang sedang repot membujuk anaknya untuk masuk kelas, atau yang sedang mengerjakan pernak-pernik persiapan karnaval kemerdekaan, atau yang sambil mengasuh adik kecil si sulung yang berlarian ke sana ke mari. Repot yang menyenangkan.

Saya pastinya sibuk mengamati tingkah polah Firna dan teman-temannya, tapi kali itu yang jadi perhatian saya bukan Firna seorang, melainkan para bunda dan reaksi mereka terhadap tingkah anak-anaknya. Saya banyak sekali belajar dari mereka, bahwa kemandirian anak akan terbangun atau tidak terbangun karena sikap orang tuanya juga. Namanya anak usia 2 sampai 3 tahun, perkara menempel terus pada ibunya pasti hal biasa. Tapi jika berada di lingkungan sekolah yang penuh hal-hal menarik dan teman-teman sebaya ia masih bersikap demikian, maka tindakan si ibu akan menentukan keberaniannya. Dan pastinya sikap satu anak akan menular ke anak yang lain. Jika ada seorang bunda yang bolak-balik masuk ke dalam kelas, terlalu khawatir dengan anaknya yang padahal sedang asyik mengikuti pelajaran, maka bisa dipastikan anak yang lain pun akan merengek meminta bundanya ikut masuk ke dalam. Atau malah para bunda yang berada di luar ikutan masuk karena ikut-ikutan khawatir dengan keadaan anaknya.

Saat itu saya memerhatikan kondisi tersebut, dan penasaran dengan apa yang sedang terjadi di dalam. Saya melirik sebentar dari jendela, Firna menoleh dan melihat saya, lalu ia berteriak kencang, "Bundaaaaaa ...!!!" Saya cepat-cepat pergi dari jendela, dan duduk bersama bunda-bunda lainnya. Teriakan Firna masih terdengar selama beberapa saat, tapi tidak saya hiraukan. Seorang bunda menegur saya sambil tertawa,"Memang begitu, mbak, makanya nggak usah ditengok-tengok. Mereka nggak mandiri nantinya." Saya nyengir lebar dan kami pun asyik mengobrol ini-itu. Perilaku yang satu menjadi pelajaran bagi yang lain.

Ketika memutuskan untuk menyekolahkan Firna di PAUD, saya mempertimbangkan kondisi anak itu sendiri. Firna sudah bisa memakai dan melepas baju sendiri, memakai dan melepas sepatu dan kaos kaki, sudah paham instruksi ini-itu dan selalu ingin terlibat di semua aktivitas saya di rumah. Tapi kemandirian Firna harus dilengkapi dengan kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan. Ini yang masih lemah, apalagi Firna memiliki seorang adik yang jarak usianya tak jauh. Firna sempat cenderung egois, kurang bisa berbagi, dan dominan sekali di rumah. Menempatkannya di lingkungan teman sebaya mungkin akan sedikit mengubah hal-hal tersebut. Tapi, sekali lagi, tidak ada yang mudah.

Dengan minimnya pengetahuan saya, saya berusaha membahas setiap kejadian penting di sekolahnya, dan mengembalikan kepada diri Firna.

"Firna, tadi di sekolah lihat ada teman yang nangis, ya?"
"Iya, Bunda, tadi teman nangis, Loh!"
"Kenapa dia nangis?"
"Tadi teman pukul ..." (maksudnya nangis karena dipukul teman yang lain)
"Kalau Firna gimana?"
"Firna nggak boleh pukul teman ya, main sama-sama, kalau pukul teman nanti teman nangis, Loh!" (ini kalimat khas Firna, diulang-ulang setiap kali melihat kejadian yang sama)

Atau ketika waktu pulang sekolah, Firna langsung ngeloyor pergi tanpa salim dan pamit dengan Bunda Guru (sebutan untuk para guru di PAUD-nya). Pasti saya akan mengajak Firna masuk kembali ke dalam kelas, dan menyalami satu per satu gurunya. Tanpa diperlakukan begitu, anak mungkin akan menganggap hal itu bukan sesuatu yang penting. Walaupun harus berlarian dulu mengejar Firna yang sudah sibuk dengan ayunan dan perosotannya, atau harus membujuk-bujuk begitu lama karena ia sudah ingin pulang. Yang lain mungkin melihat, kok ibu ini repot sekali sih, tapi saya tidak peduli.

Saya terus terngiang saat pertemuan orang tua murid dengan kepala PAUD. Pesan-pesan beliau singkat saja namun jelas. Yang membuat anak tidak mandiri dan bersikap negatif di sekolah adalah lingkungan terdekatnya. Tentu maksudnya orang tua.

Tanpa bermaksud untuk terlalu perfeksionis, kita memang harus berusaha keras untuk mendidik anak sebaik mungkin. Gagal dan berhasil itu hal yang sangat wajar. Bagaimanapun hasilnya, semoga yang terbaik, utamakan saja prosesnya supaya optimal. Jangan menganggap anak tidak mengerti apa yang diajarkan walau usia mereka masih sangat muda. Semakin muda kebaikan ditanam, ia akan dengan sendirinya membentuk akhlak si anak nantinya.

No comments: