Halaman

Tuesday, August 25, 2009

Something about Firna (part two)


Berkali-kali saya mengingatkan diri saya sendiri, bahwa seorang anak kecil adalah 'penyerap yang luar biasa hebatnya'. Makanya jangan heran jika suatu ketika mereka mengatakan sesuatu yang mengejutkan, padahal mereka baru mendengarnya sekali atau dua kali saja. Hal ini sudah terjadi berkali-kali pada Firna, anak saya, dan setiap kali yang ia sebutkan adalah hal yang tidak baik (yang mungkin ia dengar dari orang lain, dari televisi, maupun ayah dan bundanya) saya harus segera memperbaikinya. Segera. Sebab jika dibiarkan, anak akan menganggap bahwa hal tersebut boleh-boleh saja dikatakan. Atau bahkan, jika kita mendengarnya lalu tertawa geli, ia mungkin akan berpikir bahwa hal itu hal baik sebab reaksi orang dewasa di sekitarnya adalah reaksi yang ia anggap positif.

Suatu malam, saya dan suami sedang menonton berita di salah satu stasiun televisi, dan kebetulan hari itu (secara berulang-ulang hingga membosankan) dikabarkan seorang yang dianggap fenomenal telah meninggal, namanya Mbah Surip. Terus terang saja, akhir-akhir ini saya memang membatasi tontonan televisi apalagi pada waktu pagi hingga malam ketika anak-anak sedang bermain. Jadi, malam itu adalah kali pertama saya mengetahui ada seorang Mbah Surip yang mendadak kaya raya dengan lagunya yang fenomenal (tapi menurut saya sih syairnya "nggak penting banget").

"Oh, ini toh lagunya," gumam saya.

Firna yang kala itu sedang makan malam dengan ayahnya tiba-tiba nyeletuk,

"Pak gendong, ke mana-mana ..." dengan raut tanpa ekspresi dan wajah menunduk menatapi piringnya.

Kontan saja saya melirik suami yang nyaris terbahak, saya pun hampir tertawa mendengar Firna menggumamkan lagu tersebut, lalu ia menatap wajah saya dan suami sambil tersenyum. Saya hafal betul, saat itu Firna menantikan reaksi kami. Bila kami tertawa, ia akan ikut tertawa dan terus akan mengulang-ulang lagu tersebut. Ia seakan meminta 'persetujuan' bahwa kalimat baru yang ia hafal adalah lagu yang boleh ia nyanyikan. Sebelumnya suami saya memang sudah cerita, bahwa ketika mereka menonton berita yang menayangkan meninggalnya penyanyi gaek itu, Firna langsung bisa menghafal lagunya. Mungkin karena liriknya yang ear-catching atau entah apa.

"Firna, tidak usah nyanyi lagu itu ya. Itu lagu nggak bagus." tukas saya dengan tegas. Ayahnya mengatakan hal yang sama.

"Kalo lagu bintang kecil, boleh?" tanya Firna.

"Ya, kalau lagu bintang kecil boleh. Lagu balonku juga boleh." kata saya, lega. Setelah itu Firna mengulang-ulang lagu bintang kecil, balonku, dan lagu-lagu lainnya.

Apakah setelah itu Firna lupa dengan lagu fenomenal itu? Tentu tidak. Hari-hari berikutnya ia sekali dua kali mengatakan bait pertama lagu itu, dan bertanya pada saya,

"Bunda, nggak boleh lagu 'pak gendong' ya? Kalau lagu Kakak Mia, boleh?"

Seperti itulah Firna. Alhamdulillah, ia memang tidak merekam keseluruhan lagu itu karena memang kecelakaan kecil ketika ia mendengarnya pertama kali langsung kami alihkan. Tetapi, bagaimanapun ia bisa sewaktu-waktu mengingatna bila ada stimulusnya. Di sinilah pentingnya kesabaran dan konsistensi kami untuk menjaga Firna dari faktor buruk lingkungan, terutama televisi.

Satu hal yang saya sayangkan adalah, tayangan berita (yang selama ini menurut saya relatif aman untuk ditonton) pun bisa memberi dampak buruk bagi anak-anak. Apabila memang tayangan beritanya seperti itu contohnya. Belum lagi jika yang dipublikasikan adalah soal perselingkuhan anggota dewan, artis yang terjerat narkoba atau sedang stres, dan sebagainya. Ya, peran orang tua memang besar sekali untuk mendampingi dan menjelaskan apapun pada anak-anak kita. Jangan sampai mereka merekam hal yang tidak baik, dan kemudian melakukan hal yang tidak baik pula. Na'udzubillah ...

Untuk hal ini, pandangan setiap orang pasti berbeda-beda. Tapi bagi saya, bersusah payah sejak dini tentu sangat penting jika kita peduli pada perkembangan anak-anak kita. Tidak ada yang sempurna memang, tapi bukan berarti kita akan lelah dan putus asa dalam berusaha, kan?

No comments: