Halaman

Monday, March 21, 2005

Menggali Energi

[Fiuh! Hari ini rasanya badan pegel-pegel dan capek banget. Kenapa ya? Mungkin kemaren kurang tidur? Ternyata dua bulan tinggal di Bangka, deket dari kantor, jadi keenakan. Sekalinya musti berangkat dari Bekasi, badan jadi pegel-pegel gini.]

Entah kenapa, beberapa waktu belakangan, saya jadi kehilangan semangat ketika berada di kantor. Mulai bosan kah? Atau terpengaruh oleh situasi kantor yang sepertinya sedang 'tidak bersemangat'? Atau mungkin juga terwarnai oleh keinginan beberapa teman untuk 'meninggalkan' kantor? Entahlah. Yang jelas, semangat ini harus dipompa setiap saat supaya tetap terjaga, dan supaya tidak jatuh tertidur di meja kerja di siang hari bolong.

Saya butuh energi yang lain! Bisa jadi energi yang tersimpan di tubuh kian terkikis oleh kegiatan di luar kantor yang cukup menyita tenaga dan pikiran. Atau mungkin muatan energi itu tetap sama, tetapi sepertinya harus ada diversifikasi energi yang cukup untuk dapat mempertahankan 'spirit' kerja. Jika tidak, ya beginilah adanya. Setidaknya itu adalah analisa singkat dari kondisi buruk yang sedang saya alami. Sebab saya tidak ingin menjadi seorang pengeluh, yang setiap hari membuat telinga orang-orang di sekitar menjadi tuli atas keluhan dan ocehan yang tidak produktif itu.

Baru saja membaca setengah dari buku "FISH" (Stephen C Lundin, dkk). Ada sebuah desiran lain yang terasa. Apalagi ketika saya membaca kalimat 'kita dapat memilih sikap apa yang ingin ditampilkan'. Sikap yang kita pilih dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan, apakah itu bersemangat atau sebaliknya, adalah pilihan pribadi. Tidak cukup sepele untuk ditinggalkan. Karena saya jadi sadar, bahwa saat ini saya sedang memilih sikap 'bermalas-malasan' atau 'menjadikan bosan sebagai dalih' dalam beraktivitas di kantor. Akibatnya, produktivitas kerja menjadi menurun, dan dampak psikologis terhadap diri saya atas apa yang saya lakukan sendiri ternyata begitu besar. Sikap itu menyeret saya bagai arus ke dalam sebuah putaran kebosanan yang tidak akan berhenti kecuali bila saya sendiri yang menghentikannya.

Energi itu bisa datang dari mana saja. Namun, menurut saya, energi yang terindah adalah datang dari dalam diri kita sendiri, berdasarkan sebuah kesadaran dalam berperilaku. Kita sendiri yang akan memutuskan, apakah energi positif yang akan kita keluarkan dalam sebuah sikap, ataukah sebaliknya. Bagaimanapun kondisi kita pada saat itu. Bukan berarti, bagi setiap orang yang sedang dirundung masalah, ia akan mengeluarkan energi negatif bagi sekelilingnya. Belum tentu. Bisa jadi mereka bahkan dapat menjadi penyemangat nomor satu bagi yang lain, sebab mereka memilih untuk bersikap tegar dan menjadikan sikap positif yang mereka tampilkan adalah sebuah energi baru untuk diri mereka sendiri dan juga orang lain.

Saya tidak tahu, apakah terjadi perubahan pada diri saya selepas tulisan ini saya selesaikan. Yang jelas, saat ini setidaknya saya telah memilih untuk memperbaiki 'kesalahan' yang mungkin sedang terjadi pada koordinasi intra-tubuh saya, dan menggali energi (positif) yang ada sehingga saya dapat menjalani hari-hari berikutnya dengan lebih bersemangat.


*energi-ku akan pulang besok...senangnya :-) *

2 comments:

Muhammad Rivai said...

Saya pernah sampai berobat ke dokter loh, Mbak Vit, waktu mengalami hal yang sama... Kata dokter, itu karena ada keinginan yang tak tercapai dan pressure-pressure yang menumpuk. Saya cuma bengong dengernya karena saya selalu bilang "mana mungkin saya stress..." olala, ternyata stress bukan hanya meledak-ledak, ada juga stress dikit-2 :-)

Kalau energinya sudah pulang mesti diiket supaya nggak pergi lagi tuh :-P

DH Devita said...

Wah, trims ya Vai komentarnya...hehehe...jadi ketawa sendiri nih. Terutama pas baca kalimat terakhir tuh, "kalo energinya udah pulang, musti diiket..." betul juga ya! Saran yang bagus!!! hehehehe....