Halaman

Friday, July 29, 2005

The Big Boss

Jumat malam minggu kemarin, saya sempat menonton hingga habis tayangan reality show produksi luar negeri, judulnya The Apprentice. Pada acara tersebut, belasan eksekutif muda pria maupun wanita berlomba-lomba menunjukkan keunggulan diri masing-masing. Bukan apa-apa, sebab ‘hadiah’nya tak tanggung-tanggung pula: menjadi seorang direktur dari sebuah perusahaan milik salah seorang terkaya di dunia, Donald Trump. Pakaian necis, kepiawaian mengatur strategi, mengeluarkan ide-ide brilian, kelincahan menggaet klien besar, dan segala macam usaha untuk mencapai ‘kursi’ yang dinanti-nantikan. Acara tersebut sangat menarik bagi saya, sebab cukup banyak memberikan pelajaran, bahwa dari ide yang terlontar sederhana, seringkali berbuahkan keberhasilan menjual produk dan mendatangkan pembeli begitu banyak sampai bekerja sama dengan perusahaan terkemuka. Tentu saja, hal itu tidak diraih dengan cara yang mudah. Semua peserta tersebut selalu tak tidur semalaman, membicarakan dan mengatur strategi untuk tugas yang harus diselesaikan esok hari. Bila grup yang satu tak mencapai target atau melakukan sebuah kesalahan kecil saja, grup yang satunya akan jadi pemenang, dan si pemenang akan mendapat hadiah yang begitu mewah. Sedangkan yang kalah, harus mengepak barang dan hadir di ruang sidang untuk mendapatkan keputusan, siapa di antara seluruh grup yang menjadi sumber masalah, dan dia akan dikeluarkan. Rupanya acara ini menggunakan sistem ‘eliminasi’, hingga tiap pekan pasti ada satu orang peserta yang keluar. Kata-kata “You’re fired” dari Donald Trump begitu mengerikan terdengar.


Image hosted by Photobucket.com



Saya tak ingin mengupas tuntas soal acara tersebut. Melainkan hanya satu buah kejadian kecil yang terus saya ingat hingga sekarang, pada tayangan Jumat kemarin. Di akhir acara, saat berada di ruang sidang, Donald Trump beserta dua orang asistennya menganalisa dan mengadili tiga orang yang hadir bersama mereka. Satu orang adalah si ketua grup, yang selalu diadili dan dimintai pertanggungjawaban atas kinerja grupnya. Dan dua orang lainnya adalah anggota yang dianggap bermasalah atau membuat banyak kesalahan hingga membuat grup mereka kalah. Yang saya ingat pada saat itu adalah seorang peserta yang begitu dibenci oleh peserta lainnya, namanya Stacie. Sepertinya ia begitu bermasalah, hingga semua anggota grup tersebut berusaha untuk mengeluarkannya dengan berbagai cara, terlepas dari dirinya yang memang tampak ‘sedikit menyebalkan’ pada acara tersebut. Ia suka bertindak di luar kontrol, tidak berkoordinasi dengan ketua grup maupun peserta lain, bersikap mau menang sendiri, mengeluarkan ide yang ‘gila’ dan melakukannya sering tanpa persetujuan anggota grup lainnya. Disamping itu, ada hal yang begitu jeli dilihat oleh Mr. Trump, bahwa mengapa semua anggota grup-nya dapat menyatakan keberatan yang sama atas dirinya, padahal antara anggota grup tersebut pun saling tidak menyukai sebab persaingan begitu ketat terlihat.

Sang ketua grup yang menjadi ‘tertuduh’ pada saat itu pun memberi alasan mengapa ia membawa Stacie ke ruang sidang. Dan diceritakannyalah seluruh perilaku Stacie yang bermasalah hingga meresahkan dirinya dan seluruh peserta. Mr. Trump melakukan cross check dengan menanyakannya pada seorang peserta lagi yang juga hadir di ruang sidang, yang ternyata menyatakan jawaban yang sama dengan si ketua grup. Stacie, sebagai objek pembicaraan, tentu mengingkari semua pernyataan teman-temannya. Namun kali itu bukan pertama kali Stacie mendapat penilaian buruk dari para peserta yang hadir di ruang sidang, sebab dirinya memang bukan hanya sekali masuk ke sana. Maka, bisa jadi insting seorang business man atau sebutlah seorang big boss, berjalan dan mengalir hingga mencapai keputusan yang sangat tegas. Sidang mengenai kekalahan grup tersebut tidak dilanjutkan, dan Mr. Trump memerintahkan Stacie dan ketua grup untuk tetap tinggal di ruangan, dan memerintahkan seorang peserta lainnya untuk memanggil seluruh anggota grup yang sudah kembali ke kamar masing-masing. Hal ini tak pernah dilakukan pada tayangan sebelumnya.

Ada pernyataan bahwa Stacie telah bersikap di luar kontrol dan dua orang yang berada di dalam ruangan mengatakan bahwa Stacie ‘gila’. Ruang sidang yang biasanya kaku mencekam berubah ramai dan kian tegang dengan berbagai tanggapan dari para peserta.

“Dia seperti seorang schizophrenic,”
“Dia bertindak di luar kontrol,”
“Stacie membuatku takut,”
“Ia begitu liar,”

Tak satu pun orang yang membela Stacie atau melunakkan pernyataan mereka. Semua begitu pasti memberikan pernyataan dengan memberikan keterangan yang sama dengan dua orang yang lebih dulu berada di ruang sidang. Walau tak tampak jelas, keheranan membayang pada wajah Donald Trump dan dua orang asistennya.

Keputusan pun dijatuhkan. Donald Trump berbicara kepada ketiga orang pertama menghadiri ‘pengadilan’.
“Sebagai ketua grup, kamu sangat payah. Dan sebagai ketua bagian promosi, kamu telah mengacaukan budget hingga melebihi anggaran yang seharusnya. Tapi Stacie, aku tidak akan membiarkan karyawanku bekerja dalam keadaan tidak nyaman, dan ternyata kamu telah begitu meresahkan mereka dengan perilakumu itu. Stacie, kamu dipecat.”

Seluruh peserta yang berada di ruang sidang terbengong, begitu juga saya, tapi kelegaan jelas tampak pada raut wajah mereka. Dan di akhir acara, Mr. Trump memberi komentar pada kedua asistennya, “Seluruh peserta sepakat mengenai Stacie, padahal mereka pun tak saling menyukai satu sama lain. Saya jelas tak bisa membiarkan ketidaknyamanan bagi karyawan saya.” Kira-kira begitu kalimat penutup tayangan tersebut.

Setelah selesai menonton tayangan itu, saya tak langsung memikirkannya. Tapi ternyata ia tak menguap begitu saja dari kepala. Seorang big boss dari perusahaan-perusahaan bernilai miliaran dolar, ternyata memperhatikan hal yang kecil seperti itu. Ups, mungkin saya salah. Baginya tentu hal itu bukan persoalan kecil. Memikirkan kenyamanan karyawan di tempat kerja, tentu sebanding dengan optimalisasi pekerjaan tersebut yang dilakukan oleh para karyawan. Kondisi yang nyaman tentu akan menjadi pendorong di kala kesulitan dan berbagai problem pekerjaan menjadi kendala. Seorang karyawan yang bermasalah hingga menjadi sumber yang meresahkan karyawan lainnya, rupanya dianggap sebagai ‘batu penghalang’ yang harus segera disingkirkan. Mungkin ia tak mau mengambil resiko ditinggalkan oleh para karyawan lain yang sudah loyal dan bekerja keras untuk perusahaan. Menyingkirkan si pembuat masalah adalah jalan keluar, daripada harus menanggung kerugian akibat terganggunya kinerja sekian karyawan lainnya.


Image hosted by Photobucket.com



Rasanya otak saya tak akan sekedar mencatat kejadian menarik pada tayangan tersebut, melainkan juga akan merekamnya baik-baik, menyaring pelajaran penting darinya, dan akan disimpan pada tempat aman hingga suatu saat nanti, bila saya menjadi seorang pebisnis, pelajaran penting dari seorang Donald Trump itu akan saya keluarkan kembali. Bahwa menjadi seorang big boss bukan berarti boleh menyepelekan siapapun yang menjadi bawahannya, bahkan harus memperhatikan kondisi orang-orang yang bekerja di bawahnya sehingga tak hanya kinerja optimal yang mereka tunjukkan, melainkan juga loyalitas terhadap perusahaan.


No comments: