Halaman

Tuesday, July 12, 2005

Rebellista!

Rebel dalam bahasa Inggris artinya durhaka atau berontak. Sedangkan orang yang melakukan tindakan rebel disebut sebagai rebellion, yang artinya pendurhaka, pemberontak, atau menentang. Sifat rebel atau rebellious menambahkan arti yaitu suka menentang atau sukar diatur.

Akhir-akhir ini saya kembali mengintrospeksi diri, atas apa yang sedang saya ‘lakukan’ terhadap beberapa orang atau ‘sesuatu’ yang sedang saya hadapi. Saya menyadari sebuah perbedaan sikap yang telah saya tunjukkan beberapa waktu belakangan. Dulu, seingat saya, saya selalu berusaha bersikap manis, taat, berusaha keras untuk disiplin, melakukan segala sesuatu dengan baik. Salah satu buah dari sifat saya yang agak perfeksionis, mungkin. Dan saya berusaha untuk menjadi ‘eksis’ di tempat saya berada. Tidak hanya mendapat pengakuan atas keberadaan diri, melainkan juga ‘menyelam lebih dalam’, sebab saya pikir, saya menyukai tempat saya berada itu.

Ternyata waktu membawa saya kepada kenyataan yang lain. Dimana saya tetap saja tak bisa menghilangkan sifat saya yang satu itu, mengamati seksama segala sesuatu yang terjadi. Saya tak pernah bisa berdiam diri apabila melihat atau mengetahui sesuatu yang menurut saya ‘tidak wajar’. Berdiskusi atau bertanya kepada orang-orang terdekat yang mungkin mengetahui permasalahan, adalah langkah lanjutan yang selalu saya lakukan. Ya. Saya memang terlalu sensitif, seringkali. Dan tanpa saya sadari, sebenarnya sifat saya tersebut dapat membuat saya terjebak atau tercebur ke dalam kesulitan. Begitu yang orang-orang sering katakan. Seorang teman kantor pernah bilang, “Udahlah, ikutin aja apa maunya.” Oops, sorry. Saya tidak bisa.

Lama sekali saya sudah mengetahui bahwa bersikap ‘masa bodoh’ atau ‘tidak peduli’ terhadap apa yang terjadi di sekitar, bisa jadi akan menjadi ‘penyelamat’ diri dari ‘kesulitan’ yang akan timbul. Dimusuhi, mendapat pandangan negatif, disingkirkan, itu semua bisa jadi adalah ‘resiko’ yang harus diterima oleh orang-orang yang memilih untuk bersikap berbeda. Namun, membuang muka atas segala yang terjadi, sekalipun itu hal yang menentang nurani, mungkin akan menjadi tameng perlindungan supaya posisi tetap aman. Tetapi, sekali lagi, saya tidak bisa. Mungkin saya terlalu ‘melankolis’, begitu menurut personality test yang pernah saya ikuti dari sebuah buku psikologi populer. Dan rupanya itu kembali terjadi pada diri saya kini, tanpa kuasa saya hindari atau kurangi kadarnya.

Akhir-akhir ini, saya menemukan sebuah ‘ketidakwajaran’ menurut versi saya. Mengapa saya katakan demikian? Sebab mungkin tak semua orang yang berada dalam satu tempat dengan saya memiliki pemahaman dan pendapat yang sama. Biasanya, saya akan berjuang mati-matian untuk ‘meluruskan’ hal tersebut, sebatas yang saya bisa. Atau dengan ngototnya akan berbicara langsung kepada ‘orang-orang yang berwenang’ mengenai apa yang menurut saya tidak benar. Yap. Itu sudah saya lakukan. Namun ternyata tak mengubah apapun. Malah saya menemukan sebuah ketidakadilan lagi yang terjadi baru-baru ini. Entah dengan alasan apa perbuatan itu mereka lakukan, tak pernah bisa saya dapatkan penjelasannya. Pada saat itu, dan sekarang ini, tentu saya bisa sekali lagi mengusahakan untuk meminta keterangan dan meluruskan kejadian itu dan berbicara panjang lebar dengan mereka. Tetapi rupanya tidak. Entah sudah seberapa tinggi ‘gunung kekesalan’ yang saya timbun, hingga saya ‘memutuskan’ untuk bersikap rebel.

Seringkali saya bertindak yang membuat beberapa orang geleng-geleng kepala, bahkan seorang bos pernah mengatakan bahwa setiap kali saya mengungkapkan pendapat pasti akan membuatnya pusing, entah apa maksudnya. Saya mulai menentang keputusan-keputusan yang dibuat, bila itu saya anggap tidak masuk akal dan akan menyulitkan, sebab saya sudah begitu malas untuk terjerumus kepada kesulitan yang berulang. Saya merasa tak lagi menjadi ‘anak baik-baik’ dan seperti mendengar bisikan hati orang-orang sekitar, “Wah, ternyata nih anak bandel juga,” Saya menjadi rebellion, dalam pemaknaan yang saya gambarkan sendiri, semau saya.

Mulanya, saya pikir saya hanya menjadi rebellion ketika saya tidak suka atau memprotes sesuatu. Saya pikir, saya bukanlah seorang rebellion sejati. Yang selalu bersikap menentang dan menjadi beda di manapun, kapanpun, terhadap siapapun. Setidaknya itu yang saya pikir. Toh masih ada sisi lain dari diri saya yang tidak menyukai adanya konflik terhadap sekitar. Saya tidak menyukai orang-orang yang berkerut dahi dan bersuara keras ketika berbicara. Saya tidak menyukai keadaan yang carut-marut dan segala kehingarbingaran suasana. Saya tetap menyukai ketenangan, dan bahkan semakin menyukai sikap santai dan sesekali tak memedulikan apa omongan orang. Menurut personality test yang katanya tidak akurat itu, berarti sifat plegmatis yang tadinya bernilai nol, mungkin sekarang sudah bertambah poin. Kadang, saya menikmati juga perkembangan ini.

Tapi barusan saja saya menimbang-nimbang, sebelum saya memutuskan untuk menuliskannya, bahwa rupanya saya sekarang menjadi kian tertarik pada sebuah kata ini: rebel. Walaupun tidak bermaksud untuk menelannya bulat-bulat kemudian menjadikannya sebagai cap yang saya tempelkan sendiri, tapi tetap saja, saya tertarik. Entah oleh sebab apa. Gunung kekesalan itukah? Mungkin saja.

Ha. Rebel. Am I rebel enough?

1 comment:

DH Devita said...

halo juga,
wah...baca 'personality plus' juga toh? ya...ya...dulu aku melankolis-koleris, dengan sedikit sanguinis, dan no plegmatis at all. tapi lama-lama siy kayaknya berubah ya...

hehe...'rebellista' ya...^_^