Halaman

Saturday, April 25, 2009

Batu dan Air

Suatu malam, saya terlibat percakapan dengan seseorang. Ia punya jabatan lumayan di kantornya, pun juga sedang mengemban amanah di sebuah lembaga sebagai seorang ketua. Saat itu saya belum terlalu lama mengenalnya, dan mencoba menggali pola pikir dan pendapatnya tentang berbagai hal, yang memang telah menjadi kebiasaan saya. Kami sedang membicarakan tentang permasalahan organisasi, dan kemudian saya berkata,

“Menurut saya, Pak, untuk meningkatkan kinerja anggota perlu sekali diadakan pelatihan atau pembekalan. Karena banyak orang yang bergerak tanpa pemahaman, dan itu butuh waktu untuk melatih mereka dengan memberikan pelatihan atau semacamnya. Sepertinya agak jarang diadakan, ya?”
Tanpa saya duga, ia menjawab dengan ketus, padahal sebelumnya pembicaraan itu berlangsung santai dan hangat.

“Ah, itu nggak perlu! Buang-buang waktu dan tenaga saja. Yang penting itu prakteknya. Kalau teori mereka semua sudah hafal. Praktek itu bisa langsung memberikan hasil.”

Saya terdiam. Dan mulai sedikit mencerna bagaimana sifat orang yang sedang saya ajak bicara. Saat itu saya belum menyimpulkan apa-apa, tetapi di dalam hati saya tetap tak setuju. Praktek untuk hasil maksimal akan terjadi bila seseorang memiliki pemahaman utuh tentang apa yang akan ia lakukan. Manusia kan bukan kambing yang bisa diikat pakai tali lalu diseret ke mana pun majikannya mau.

Di kesempatan lain, saya terlibat dalam sebuah diskusi untuk memutuskan sebuah perkara penting. Saya sudah siap dengan segala argumentasi dan usulan, begitu juga dengan beberapa teman lain yang hadir, dan kami bersemangat untuk mempelajari banyak hal dari kesempatan yang jarang itu. Acara dimulai, pemimpin diskusi menjelaskan, bahwa kami akan memilih beberapa orang untuk menjadi perwakilan organisasi dalam sebuah acara besar yang akan diikuti. Di benak saya terbayang berbagai mekanisme yang pernah saya lakukan di kampus dulu. Bermusyawarah untuk menentukan nama-nama, menentukan kriteria calon yang akan dipilih, atau yang lebih bagus lagi yaitu melakukan fit and proper test supaya perwakilan yang akan kami pilih tersebut benar-benar mumpuni dan bisa menjadi delegasi yang baik nantinya.

Ketika usulan itu diajukan, saya cukup senang karena ada dua atau tiga orang selain saya yang juga mengusulkan dan melengkapi usulan tersebut. Saya mulai merasakan semangat yang sama ketika dulu beraktivitas di kampus, dan hal ini memang saya rindukan sejak lama. Tetapi, seketika perasaan itu berubah drastis ketika saya mendapati sebagian dari peserta diskusi (termasuk pemimpin forum) tertawa lepas. Seolah menertawakan usulan yang baru kami sampaikan. Saya kebingungan, menoleh ke sana ke mari. Apa ada yang salah? Saya melewatkan sesuatu yang lucu? Ada apa ini?

Kemudian pemimpin forum dan satu orang lagi menjelaskan bahwa sudah terpilih nama-nama yang akan mewakili, dan malam itu kami hanya perlu memutuskan yang mana yang disetujui dengan cara voting supaya cepat. Atau jika ada usulan tambahan langsung saja dimasukkan, sebab hasilnya sedang ditunggu malam itu juga. Saya langsung lemas. Dan malas melirik ke kanan dan kiri lagi. Jadi, apa maksudnya ini? Tetapi saya tetap berusaha mengikuti diskusi dengan konsentrasi. Mungkin karena saya baru saja datang, saya jadi kurang memahami sesungguhnya apa yang sudah mereka diskusikan sebelumnya.

Lantas, ketika tiba waktu pemungutan suara, peserta diskusi laki-laki sibuk sendiri melontarkan nama ini dan itu, lalu tertawa sesekali, dan langsung menulis-nulis hasil usulan di papan tulis. Saya mendesak teman saya untuk mengacungkan jari dan meminta penjelasan kenapa peserta perempuan tidak diikutsertakan. Bukankah di antara delegasi tersebut diharuskan ada perwakilan perempuan? Saya bertambah bingung dengan arah forum tersebut. Si pemimpin diskusi yang ditanya hanya tersenyum sedikit tertawa menanggapi, dan salah satu peserta laki-laki berujar nyaring, “Ibu-ibu nggak usah ikut, biar bapak-bapak aja.”

Saya tidak kuat. Lalu memandangi teman di sebelah saya, meminta penjelasan. Ia tersenyum getir, dan mengusap-usap punggung saya. Saya mengerti, bahwa kondisi seperti ini rupanya telah terjadi sejak dulu dan sulit sekali diubah. Saya mengerti, sepertinya teman saya itu tak sanggup menjadi pengubahnya karena entah apa. Saya permisi keluar ruangan, dan menangis di depan kran air. Saya tak peduli ketika kedua mata saya terlihat jelas merah habis menangis oleh seluruh peserta diskusi. Malam itu emosi saya tidak terkontrol. Titik lemah saya tercapai.

Semakin lama saya berinteraksi dengan si bapak yang malam itu saya ajak diskusi (yang juga memimpin forum diskusi), saya makin mengenali sifatnya yang keras seperti batu. Begitulah saya menyebutnya. Ia sulit sekali menerima pendapat orang lain, dan selalu memajukan pikirannya sendiri. Sebagian orang terbawa oleh gaya kepemimpinannya itu. Dan sudah berlangsung sekian tahun kondisi memprihatinkan ini. Saya lantas terpikir berbagai strategi dan cara untuk mengubah keadaan, menjadi pendobrak, dan segala macam yang sifatnya heroik. Tampaknya beberapa teman pun mengharapkan sikap itu muncul dari saya dan beberapa orang yang sependapat. Tapi, sekali lagi, perubahan tak akan terjadi apabila si manusia tak mau berubah. Dan hanya Allah lah yang kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia.

Semoga semangat untuk memperbaiki keadaan tak surut dari diri saya, dan semoga niatnya tetap lurus hanyalah untuk beramal soleh memperbaiki umat. Jikalau memang kelemahan diri ini tak sanggup melakukan hal-hal heroik itu, maka saya tak akan berhenti menjadi ‘air’. Yang dengan perlahan tetapi pasti menetesi sebongkah batu untuk memecahkannya. Jika tak sekarang perubahan itu terjadi, maka kelak, dengan izin-Nya, akan tercapai. Jika bukan saya yang menikmati perubahan kondisi ke arah yang lebih baik, maka generasi selanjutnya akan mendapatkan buahnya.

No comments: