Halaman

Saturday, April 25, 2009

Pendar Kasih Ibu

Ketika senyummu pudar,
Sewaktu kedua matamu tak lagi berbinar,
Saat gundah menghilangkan tempat bersandar,
Maka seorang ibu akan merengkuhmu,
Dengan sejuta kasihnya yang kian berpendar.

Menjadi seorang ibu adalah sejuta harap yang terpenuhi bagi diri seorang perempuan. Menjadi seorang istri dari lelaki yang dicintai bagaikan memenuhi keinginan hati untuk menjadi seorang kekasih sekaligus permaisuri. Tak lengkap, apabila keduanya tak diraih. Tak sempurna, apabila waktu yang tersisa menghadiahkan kesendirian.

Dari sekian juta perempuan yang ada, tak pernah ada cerita yang sama yang dijalani. Kadang, ketika derita sedang ditanggung, kita sering merasa menjadi seseorang yang nasibnya paling malang sedunia. Tanpa mau menoleh bahwa masih banyak orang lain yang mungkin sedang menanggung beban yang lebih berat. Kadang tak berpikir bahwa mensyukuri yang sedang dijalani adalah pilihan sikap yang senantiasa melegakan.

Seorang ibu, bagaimanapun, adalah kedamaian bagi keluarganya. Banyak hal indah yang diucapkan, dituliskan, didendangkan, mengenai seorang ibu. Namun yang terjadi di dunia nyata seringkali berkebalikan. Satu kata yang kerap kali membuat bulu kuduk berdiri dan hal terburuk yang mungkin terjadi pada seorang perempuan yang dizalimi: kekerasan. Satu hal yang sepertinya kian hari kian menjadi teman akrab telinga dan mata kita semua.

Sedikit saja pengaruh buruk dari kejadian-kejadian menyedihkan yang menimpa seorang perempuan dengan berbagai statusnya (istri, ibu, calon istri, calon ibu, dan sebagainya) adalah ketakutan dan keputusasaan akan ‘profesi mulia’ diri sebagai seorang pendamping hidup laki-laki sekaligus ibu bagi anak-anaknya.

Disamping itu, banyak pula perempuan yang menjalani proses menuju kebahagiaan dengan jalan yang tak semulus yang dialami perempuan lainnya. Sebagian mungkin terasa lucu bila diingat kembali, sebagian lagi menyisakan derita yang menyayat memori, atau meninggalkan luka yang menggores tak terperi. Yang kadang akan menumbuhkan satu ketakutan menjadi ketakutan lainnya. Dan bila kebahagiaan itu akhirnya datang, seperti goresan gambar di atas pasir yang luruh akibat sapuan ombak. Yang teringat adalah bahagia.

Saya mungkin tak pandai menganalisa setiap peristiwa. Pun tak banyak hal yang telah saya ketahui untuk dibagikan pada semua. Yang saya tahu, hidup memang tak hanya berisikan kebahagiaan saja. Namun tetap saja, setiap orang pantas untuk bahagia. Dan kebahagiaan yang akan menjadi pelengkap pada diri seorang perempuan adalah menjadi seorang ibu.

Saya pikir, ketika saya telah dewasa dan mencari penghasilan sendiri, saya telah puas menjadi seorang anak. Ingin ‘pergi’ jauh dari orang tua. Tetapi rasanya pikiran itu salah. Dan ketika saya telah menikah, pikiran itu muncul lagi. Demikian pula ketika Allah telah mengaruniakan seorang anak. Saya pikir saya akan ‘berhenti bersikap sebagai seorang anak’. Tidak lagi manja, tidak lagi membutuhkan rengkuhan ibu, dan sebagainya. Tapi nyatanya saya makin yakin bahwa pikiran itu salah.

Justru ketika saya telah menjadi seorang ibu, saya makin membutuhkan sosok ibu saya. Dan saya makin menghargai dan lebih lagi mencintai ibu saya. Bagaimanapun saya mulai merasakan hal-hal yang pastinya dulu pernah ia rasakan. Letihnya, gundahnya, cemasnya, bahagianya ... semua hal yang dirasakan oleh semua ibu untuk keluarganya tercinta. Dan kini hari-hari saya banyak terisi oleh renungan, betapa ibu begitu berharga bagi diri saya. Terlebih untuk semua pengorbanan yang rasanya tak pernah sanggup saya balas.

Dan perjalanan kehidupan setiap perempuan memang tak sama. Saya benar-benar bersyukur telah diberi kesempatan untuk merasakan semuanya kini. Menjadi seorang anak, seorang istri, dan seorang ibu. Kebahagiaan apalagi yang saya cari?

No comments: