Halaman

Saturday, April 25, 2009

Dengarkan Hatimu

Saya seringkali ditanya oleh ibu-ibu peserta pengajian yang saya asuh, mengenai bagaimana cara bersikap konsisten dalam ibadah dan menjaga keimanan agar tidak cepat naik-turun. Pertanyaan yang sepertinya sangat populer dan kerap kali kita pertanyaan pula pada diri sendiri. Dan hampir selalu pertanyaan itu saya jawab dengan: “Berada pada lingkungan yang kondusif untuk menjaga keimanan, berkumpul dengan orang-orang saleh, mendisiplinkan diri untuk senantiasa rutin mengerjakan amal ibadah harian, dan berdoa supaya Allah menetapkan keimanan dalam hati.” Teoritis. Tapi begitulah adanya.

Mengajarkan diri kita ataupun orang lain untuk disiplin mungkin memang awalnya harus dengan keras dan kesannya seperti sebuah pemaksaan. Tetapi tujuannya hanyalah untuk membiasakan diri ini melakukan kebaikan tersebut. Dan biarpun seribu orang memaksa kita untuk berubah menjadi lebih baik, apabila hati kita menolak dan tak siap untuk mengubah diri, maka hasilnya nihil. Seseorang bisa konsisten atau tidak, keimanannya terjaga atau tidak, semua tergantung daripada kemauan dan tekad kuat untuk melakukannya. Orang lain yang menceramahi dan mengajak hanyalah sebuah dorongan luar yang bisa saja diindahkan atau tidak oleh diri kita sendiri. Perubahan berawal dari diri kita sendiri. Dan niat untuk berbuat baik dan menjadi lebih baik munculnya dari hati.

Pernahkah Anda suatu saat merasakan diri sedang berada dalam kondisi ‘terjatuh’? Rasa malas betah sekali bercokol dalam diri, seperti tak ada motivasi untuk meraih kebaikan setiap hari, dan kedua telinga serasa tuli dari ajakan kebaikan yang mendatangi. Saya sungguh takut jika itu terjadi pada diri saya. Sebab sepertinya hal-hal itu bisa membawa saya pada kondisi ‘tak lagi mau mendengar, dan tak lagi mau peduli’ dengan kondisi keimanan diri ini. Jika didiamkan lebih lama, maka waktu akan melenakan kita, dan tak terasa kedua kaki akan melangkah lebih jauh lagi berbelok ke arah yang salah.

Tetapi masalahnya adalah tak setiap orang bisa merasakan dan menyadari kondisi khilaf dan lalai yang sedang terjadi pada dirinya sendiri. Malah mungkin orang lain yang lebih sering mengingatkannya. Padahal setiap hari kita disodori oleh berbagai pilihan kebaikan dan keburukan. Jika saja kita membiasakan diri untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri setiap hari, maka mungkin saja hati kita akan semakin terasah untuk cermat mengenali mana yang benar dan mana yang salah. Sebab sebuah hati yang dibiarkan mati tak dipergunakan untuk berperan sebagai penentu arah tubuh ini melangkah, ibaratnya sebilah pisau yang dibiarkan tergeletak di lemari dapur. Ia akan tumpul. Jika hati telah mati, maka apalagi yang bisa menuntun kita untuk berjalan ke arah yang benar?

Sebagian orang mungkin berpendapat, melakukan aktivitas muhasabah atau merenung bukanlah pekerjaan yang prestisius dan tak ada hasilnya, hanya akan membuat diri kita jadi cengeng dan membuang-buang waktu. Tetapi gerak kehidupan memang bukan hanya berputar pada hal-hal yang tampak di depan mata saja, tidak hanya melulu soal materi dan apa yang bisa digenggam oleh tangan. Apalah artinya sebuah amalan tanpa adanya niat ikhlas dalam mengerjakannya? Dan niat itu terdapat dalam hati. Maka, memperbarui selalu niat kita dalam beraktivitas, menjadikan setiap kegiatan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT, serta menobatkan hati ini sebagai ‘panglima’, niscaya akan menggerakkan diri kita ke arah perbaikan dan perbaikan terus setiap waktu. Sebab, bukankah seseorang yang ingin ibadahnya diterima selalu berusaha untuk meluruskan hatinya? Apabila ia tergelincir, maka ia akan lurus kembali, apabila sedikit berbelok maka hati akan mengingatkannya, lalu setiap ada pilihan-pilihan datang di kehidupannya, ia akan senantiasa mengembalikannya pada hatinya. Apakah sesuai atau tidak, ragu-ragu atau yakin, terasa benar atau menjurus salah? Hatilah yang akan menjawabnya. Tentu, hati yang bersih, bening, dan mampu untuk membedakan yang haq dan bathil.

Semoga kita selalu berada dalam kondisi bersemangat untuk membersihkan hati, sehingga ia akan berperan optimal dalam mengarahkan diri kita untuk terus melakukan kebaikan. Dan ketika ada suatu hal mengganggu atau meragukan dalam sesuatu yang harus kita putuskan, dengarkanlah hatimu. Ia akan menjawabnya dengan terang atau buram, sesuai apa yang kau lakukan terhadapnya.

1 comment:

ine septya rina said...

Saya,mempunyai niat yang besar untuk selalu mencoba menjadi manusia yang kaffah, dengan mencoba sikap zuhud,tetapi mengapa semakin saya berusaha kuat memakai pakaian zuhud,selalu saja ada godaan yang datang???Disamping itu tetangga sekitar saya kebanyakan mengutamakan keindahan dunia. apa yang harus saya lakukan ya??plese help me deh..